Hanya ada satu Tahbisan
NOVITAULI FRANSINA TAMBUNAN
Sakramen
Ekaristi merupakan pintu utama dalam
upacara sakramen liturgis jika dibandingkan dengan sakramen lainnya. Namun, sakramen
Ekaristi tidak dapat diadakan jika ada salah satu syarat ad validitatem[1]
tidak terpenuhi yakni tidak ada yang memimpin sakramen tersebut (pelayan
sakramen). Sama hal lainnya dengan enam sakramen yang kita akui dan kita imani
dalam gereja Katolik di seluruh dunia yaitu sakramen baptis, sakramen krisma
atau penguatan, sakramen tobat atau rekonsiliasi, sakramen pengurapan orang
sakit dan sakramen perkawinan. Seluruh upacara sakramen itu dipimpin oleh
seorang pelayan Gereja yang diangkat melalui sakramen tahbisan. Pada zaman
sekarang umat banyak dibingungkan dengan arti Tahbisan dan Sakramen yang sesungguhnya.
Dan untuk siapa gelar “Tahbisan” itu diberikan. Banyak orang awam, jika
ditanyakan tentang kata “Tahbisan” atau “Imamat”, maka secara langsung berpikir
tentang sosok seseorang Imam atau Pastor yang sering dijumpai di Gereja dan memimpin
dalam perayaan Sakramen Ekaristi dan dalam Sakramen tobat atau rekonsiliasi. Sedangkan bagaimana dengan Uskup dan
Diakon? Apakah Uskup dan Diakon memiliki tahbisan dan tugas yang sama dengan
seorang Imam yang sering kita dijumpai di dalam Gereja maupun perayaan-perayaan
Sakramen lainnya?
Kata Tahbisan sendiri diartikan sebagai upacara menahbiskan (menyucikan
atau memberkati seseorang)[2].
Sedangkan sakramen diartikan sebagai lambang dan sarana keselamatan yang
diberikan Allah kepada manusia. Sakramen sendiri diadakan, dikehendaki, dan
direncanakan oleh Allah sebagai suatu bentuk perwujudan dan peralihan bagi
orang belum percaya kepada Allah sehingga dapat percaya sekaligus mengimani
Allah secara menyeluruh. Dengan kata lain, seseorang yang menerima sakramen
tahbisan berarti orang tersebut telah memperoleh keselamatan dan diberkati
secara menyeluruh baik dalam pikiran, batin, dan perilaku. Seseorang yang
menerima sakramen tahbisan juga diberi kuasa dan wewenang mengubah roti dan
anggur menjadi tubuh dan darah Kristus, mempersembahkan kurban Kristus kepada
Allah, dan memberi absolusi dalam sakramen tobat atau rekonsiliasi.
Sedangkan
Menurut Vatikan II, sakramen tahbisan dianggap sebagai “sakramen wisuda”.
Artinya dengan diangkat seseorang sebagai seorang Imam atau pelayan Gereja,
maka secara langsung menjadi pemimpin gereja, bukan hanya dalam upacara
sakramen-sakramen, melainkan dalam seluruh kehidupan dan kegiatan Gereja. Dengan
tahbisannya seseorang dapat bertindak dengan meneladani pribadi Kristus (bdk LG
10). Vatikan II mengajarkan bahwa dengan menerima sakramen Imamat orang beriman
bersatu dengan Kristus untuk menjadi gembala khusus dengan melayani beriman
dalam pewartaan kabar gembira, pengudusan, dan penggembalaan. Dengan makna
tahbisan yaitu gembala demi pelayanan ada tiga nasehat Injili yang harus
dihayati yaitu ketaatan, kemiskinan, dan
kemurnian[3]. Tahbisan
diberikan kepada orang yang mau diangkat menjadi gembala Allah dengan melayani
umat Allah dan mewartakan Injil Allah (bdk EN 68).
Jadi,
dengan ditahbiskan melalui Sakramen Tahbisan maka orang tersebut telah
memperoleh buah sakramen yaitu keselamatan dan menjadi pemimpin gereja yang
“diangkat untuk menggembalakan Gereja dengan Sabda dan rahmat Allah” (Lumen
Gentium 11).
Dalam
Sakramen Tahbisan memiliki tiga jenjang kepemimpinan dalam Gereja. Namun hal
itu bukan lah diartikan sebagai jenjang kekuasaan wilayah yang terluas ataupun
kekuasaan harta yang dimiliki melainkan jenjang yang diterima menjadi anggota hierarki atau pemimpin Gereja dalam
pelayanan suci. Menurut Vatikan II, dalam Gereja Katolik semua dianggap sebagai
umat Allah. Tahbisan tiga kepemimpinan
tersebut yaitu diakon, imam, dan uskup. “Uskup sebagai pimpinan Gereja-gereja
setempat, para imam dan para Diakon yang bersatu dengan Uskup mereka dan mereka
merupakan pembantu-pembantu Uskup mereka” (EN 68). Dalam Konstitusi Dogmatis
“Lumen Gentium” tentang Gereja, diberi pengertian tentang ketiga tahbisan
tersebut.
Pertama,
tahbisan uskup. “Dengan tahbisan uskup diterimakan kepenuhan sakramen imamat,
yang biasanya disebut imamat tertinggi atau keseluruhan pelayanan suci” (LG
21). Uskup melalui penetapan Ilahi menggantikan para Rasul sebagai gembala Gereja (LG 20) dan bertindak
dalam pribadi Kristus (EN 68). Tugas uskup melayani para jemaat dan memimpin
yang mereka gembalakan sebagai pendidik dalam iman (pemersatu), imam dalam
ibadat suci, dan pelayanan dalam bimbingan (komunikasi iman).
Kedua,
tahbisan imam. “Kendatipun tidak menerima puncak imamat, dan dalam melaksanakan
kuasa mereka tergantung dari para uskup, namun mereka sama-sama imam seperti
para uskup; dan berdasarkan sakramen tahbisan mereka pun dikhususkan untuk
mewartakan Injil serta menggembalakan umat beriman, dan untuk merayakan ibadat
ilahi, sebagai imam sejati Perjanjian Baru” (LG 28).
Ketiga,
tahbisan diakon. Mereka juga “ditumpangi tangan, tetapi bukan untuk imamat, melainkan
untuk pelayanan” (LG 29). Tugas diakon antaralain membaca Injil dan membagikan
komuni suci.
Dalam
pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama, tiga jenjang kepemimpinan tersebut
dikenal sebagai pembagian pelayanan umat, yaitu: Raja yang dipahami sebagai gembala umat dalam 2 Samuel 5:2
menuliskan “Telah lama, ketika Saul memerintah atas kami, engkaulah yang
memimpin segala gerakan orang Israel. Dan Tuhan telah berfirman kepadamu :
Engkaulah yang harus menggembalakan umat-Ku Israel, dan engkaulah yang menjadi
raja atas Israel.” Imam dalam
Bilangan 6:22-27. Dalam ayat ini Tuhan berfirman kepada Musa untuk memberkati
orang Israel. Nabi dalam Amsal
7:14-15. Dalam ayat ini Tuhan berfirman kepada Amos untuk bernubuat terhadap
umat Israel.[4]
Sedangkan
dalam Kitab Suci Perjanjian Baru Dalam Injil Markus 3:14-15 dan Lukas 10:1.
Yesus sendirilah yang bertindak sebagai pelayan umat dalam memanggil ke-12
Rasul dan para murid-Nya untuk turut serta dalam perutusannya.
Menurut
pandangan umum dan dominan ini, Yesus memanggil para rasul dan menjadikan
mereka uskup-uskup yang pertama. Kemudian para rasul juga memilih pengganti
mereka dan menjadikan mereka uskup juga. Para pengganti uskup ini selanjutnya
menunjuk orang-orang tertentu untuk ikut memikul tugas mereka, dan merekalah
yang disebut sebagai para imam.[5]
Namun
pada Hakikatnya, Dasar Gereja dan segala bentuk kepemimpinannya terpusat pada
peristiwa wafat dan Kebangkitan Tuhan Yesus Kristus[6].
Sakramen
adalah sarana untuk memperoleh keselamatan Allah kepada manusia. Termasuk
Sakramen Tahbisan, dengan menerima sakramen ini seseorang telah disucikan.
Gelar “Tahbisan” ini akan diberikan kepada seseorang yang disebut Frater dan
telah diberikan kepada seseorang yaitu Uskup, Imam dan Diakon yang melalui
kuasa tahbisan mereka bertanggung jawab menjadi pelayan dan pengajar umat Allah
dalam iman. Dari segi perbedaan, maka ada tiga pembagian tugas pemimpin, yakni Pemimpin (Uskup) yang memiliki tugas
pewartaan, perayaan dan pelayanan; Pembantu umum (Imam) yang memiliki tugas
konkret sama seperti uskup yakni mewartakan
Injil; dan Pembantu khusus (Diakon) yang memiliki tugas untuk membantu
Uskup dan Imam namun terbatas. Tiga tahbisan tersebut adalah tahbisan sebagai
anggota hierarki atau pemimpin Gereja yang merupakan persatuan yang berdasarkan
peristiwa wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Dari segi persamaan, Sakramen
Tahbisan hanya diberikan satu kali seumur hidup karena termasuk materai yang
tidak dapat terhapuskan dan akan terus berlangsung sampai akhir zaman (lih. Mat
28:20). Maka seorang Uskup, Imam, dan Diakon hanya mendapatkan satu tahbisan
karena akan menjadikan seseorang menjadi pemimpin Gereja yang akan terus
melekat sampai akhir zaman.
DAFTAR PUSTAKA
Beny Mite,
Matheus. 2007. “Pemikiran dan Penghayatan Sakramen Dalam Agama Katolik”.
Jakarta: Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi. FKIP Unika Atma Jaya.
Osborne,
K. OFM. 2008. Komunitas, Ekaristi, dan
Spiritualitas. Penerjemah: Hartono SJ dan Tim Seminar Teologi Modern.
Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta: Kanisius.
Kamus
Besar Bahasa Indonesia. “Tahbis”. http://kbbi.web.id/tahbis.
diakses pada tanggal 24 April 2016
[1] Syarat demi sahnya
sakramen atau syarat supaya sakramen yang diadakan valid/sah. Contohnya
materia, forma, pelayan, dan penerima sakramen.
Lihat M. Beny Mite, ”Pemikiran dan
Penghayatan Sakramen Dalam Agama Katolik”, Program Studi Ilmu Pendidikan
Teologi FKIP Unika Atma Jaya, Jakarta, 2007, hlm.14.
[2] Kamus Besar Bahasa
Indonesia, “Tahbis”, http://kbbi.web.id/tahbis, diakses pada tanggal 24
April 2016.
[3] Matheus Beny Mite,
”Pemikiran dan Penghayatan Sakramen Dalam Agama Katolik”, Program Studi Ilmu
Pendidikan Teologi FKIP Unika Atma Jaya, Jakarta, 2007, hlm.97.
[4] Ibid., hlm.96.
[5] Kenan
Osborne OFM, Komunitas, Ekaristi, dan
Spiritualitas, Penerjemah: Hartono SJ dan Tim Seminar Teologi Modern.
Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta: Kanisius, 2008, Hlm.92.
[6] M.Beny Mite, Loc.cit
Tidak ada komentar:
Posting Komentar