Rabu, 11 Mei 2016

SAKRAMEN TAHBISAN (IMAMAT)


Hanya ada satu Tahbisan

NOVITAULI FRANSINA TAMBUNAN

Sakramen Ekaristi merupakan  pintu utama dalam upacara sakramen liturgis jika dibandingkan dengan sakramen lainnya. Namun, sakramen Ekaristi tidak dapat diadakan jika ada salah satu syarat ad validitatem[1] tidak terpenuhi yakni tidak ada yang memimpin sakramen tersebut (pelayan sakramen). Sama hal lainnya dengan enam sakramen yang kita akui dan kita imani dalam gereja Katolik di seluruh dunia yaitu sakramen baptis, sakramen krisma atau penguatan, sakramen tobat atau rekonsiliasi, sakramen pengurapan orang sakit dan sakramen perkawinan. Seluruh upacara sakramen itu dipimpin oleh seorang pelayan Gereja yang diangkat melalui sakramen tahbisan. Pada zaman sekarang umat banyak dibingungkan dengan arti Tahbisan dan Sakramen yang sesungguhnya. Dan untuk siapa gelar “Tahbisan” itu diberikan. Banyak orang awam, jika ditanyakan tentang kata “Tahbisan” atau “Imamat”, maka secara langsung berpikir tentang sosok seseorang Imam atau Pastor yang sering dijumpai di Gereja dan memimpin dalam perayaan Sakramen Ekaristi dan dalam Sakramen tobat atau rekonsiliasi. Sedangkan bagaimana dengan Uskup dan Diakon? Apakah Uskup dan Diakon memiliki tahbisan dan tugas yang sama dengan seorang Imam yang sering kita dijumpai di dalam Gereja maupun perayaan-perayaan Sakramen lainnya?
Kata Tahbisan sendiri diartikan sebagai upacara menahbiskan (menyucikan atau memberkati seseorang)[2]. Sedangkan sakramen diartikan sebagai lambang dan sarana keselamatan yang diberikan Allah kepada manusia. Sakramen sendiri diadakan, dikehendaki, dan direncanakan oleh Allah sebagai suatu bentuk perwujudan dan peralihan bagi orang belum percaya kepada Allah sehingga dapat percaya sekaligus mengimani Allah secara menyeluruh. Dengan kata lain, seseorang yang menerima sakramen tahbisan berarti orang tersebut telah memperoleh keselamatan dan diberkati secara menyeluruh baik dalam pikiran, batin, dan perilaku. Seseorang yang menerima sakramen tahbisan juga diberi kuasa dan wewenang mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus, mempersembahkan kurban Kristus kepada Allah, dan memberi absolusi dalam sakramen tobat atau rekonsiliasi.
Sedangkan Menurut Vatikan II, sakramen tahbisan dianggap sebagai “sakramen wisuda”. Artinya dengan diangkat seseorang sebagai seorang Imam atau pelayan Gereja, maka secara langsung menjadi pemimpin gereja, bukan hanya dalam upacara sakramen-sakramen, melainkan dalam seluruh kehidupan dan kegiatan Gereja. Dengan tahbisannya seseorang dapat bertindak dengan meneladani pribadi Kristus (bdk LG 10). Vatikan II mengajarkan bahwa dengan menerima sakramen Imamat orang beriman bersatu dengan Kristus untuk menjadi gembala khusus dengan melayani beriman dalam pewartaan kabar gembira, pengudusan, dan penggembalaan. Dengan makna tahbisan yaitu gembala demi pelayanan ada tiga nasehat Injili yang harus dihayati  yaitu ketaatan, kemiskinan, dan kemurnian[3]. Tahbisan diberikan kepada orang yang mau diangkat menjadi gembala Allah dengan melayani umat Allah dan mewartakan Injil Allah (bdk EN 68).
Jadi, dengan ditahbiskan melalui Sakramen Tahbisan maka orang tersebut telah memperoleh buah sakramen yaitu keselamatan dan menjadi pemimpin gereja yang “diangkat untuk menggembalakan Gereja dengan Sabda dan rahmat Allah” (Lumen Gentium 11).
Dalam Sakramen Tahbisan memiliki tiga jenjang kepemimpinan dalam Gereja. Namun hal itu bukan lah diartikan sebagai jenjang kekuasaan wilayah yang terluas ataupun kekuasaan harta yang dimiliki melainkan jenjang yang diterima menjadi anggota hierarki atau pemimpin Gereja dalam pelayanan suci. Menurut Vatikan II, dalam Gereja Katolik semua dianggap sebagai umat Allah.  Tahbisan tiga kepemimpinan tersebut yaitu diakon, imam, dan uskup. “Uskup sebagai pimpinan Gereja-gereja setempat, para imam dan para Diakon yang bersatu dengan Uskup mereka dan mereka merupakan pembantu-pembantu Uskup mereka” (EN 68). Dalam Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” tentang Gereja, diberi pengertian tentang ketiga tahbisan tersebut.
Pertama, tahbisan uskup. “Dengan tahbisan uskup diterimakan kepenuhan sakramen imamat, yang biasanya disebut imamat tertinggi atau keseluruhan pelayanan suci” (LG 21). Uskup melalui penetapan Ilahi menggantikan para Rasul  sebagai gembala Gereja (LG 20) dan bertindak dalam pribadi Kristus (EN 68). Tugas uskup melayani para jemaat dan memimpin yang mereka gembalakan sebagai pendidik dalam iman (pemersatu), imam dalam ibadat suci, dan pelayanan dalam bimbingan (komunikasi iman).
Kedua, tahbisan imam. “Kendatipun tidak menerima puncak imamat, dan dalam melaksanakan kuasa mereka tergantung dari para uskup, namun mereka sama-sama imam seperti para uskup; dan berdasarkan sakramen tahbisan mereka pun dikhususkan untuk mewartakan Injil serta menggembalakan umat beriman, dan untuk merayakan ibadat ilahi, sebagai imam sejati Perjanjian Baru” (LG 28).
Ketiga, tahbisan diakon. Mereka juga “ditumpangi tangan, tetapi bukan untuk imamat, melainkan untuk pelayanan” (LG 29). Tugas diakon antaralain membaca Injil dan membagikan komuni suci.
Dalam pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama, tiga jenjang kepemimpinan tersebut dikenal sebagai pembagian pelayanan umat, yaitu: Raja yang dipahami sebagai gembala umat dalam 2 Samuel 5:2 menuliskan “Telah lama, ketika Saul memerintah atas kami, engkaulah yang memimpin segala gerakan orang Israel. Dan Tuhan telah berfirman kepadamu : Engkaulah yang harus menggembalakan umat-Ku Israel, dan engkaulah yang menjadi raja atas Israel.” Imam dalam Bilangan 6:22-27. Dalam ayat ini Tuhan berfirman kepada Musa untuk memberkati orang Israel. Nabi dalam Amsal 7:14-15. Dalam ayat ini Tuhan berfirman kepada Amos untuk bernubuat terhadap umat Israel.[4]
Sedangkan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru Dalam Injil Markus 3:14-15 dan Lukas 10:1. Yesus sendirilah yang bertindak sebagai pelayan umat dalam memanggil ke-12 Rasul dan para murid-Nya untuk turut serta dalam perutusannya.
Menurut pandangan umum dan dominan ini, Yesus memanggil para rasul dan menjadikan mereka uskup-uskup yang pertama. Kemudian para rasul juga memilih pengganti mereka dan menjadikan mereka uskup juga. Para pengganti uskup ini selanjutnya menunjuk orang-orang tertentu untuk ikut memikul tugas mereka, dan merekalah yang disebut sebagai para imam.[5]
Namun pada Hakikatnya, Dasar Gereja dan segala bentuk kepemimpinannya terpusat pada peristiwa wafat dan Kebangkitan Tuhan Yesus Kristus[6].
Sakramen adalah sarana untuk memperoleh keselamatan Allah kepada manusia. Termasuk Sakramen Tahbisan, dengan menerima sakramen ini seseorang telah disucikan. Gelar “Tahbisan” ini akan diberikan kepada seseorang yang disebut Frater dan telah diberikan kepada seseorang yaitu Uskup, Imam dan Diakon yang melalui kuasa tahbisan mereka bertanggung jawab menjadi pelayan dan pengajar umat Allah dalam iman. Dari segi perbedaan, maka ada tiga pembagian tugas pemimpin, yakni  Pemimpin (Uskup) yang memiliki tugas pewartaan, perayaan dan pelayanan; Pembantu umum (Imam) yang memiliki tugas konkret sama seperti uskup yakni mewartakan  Injil; dan Pembantu khusus (Diakon) yang memiliki tugas untuk membantu Uskup dan Imam namun terbatas. Tiga tahbisan tersebut adalah tahbisan sebagai anggota hierarki atau pemimpin Gereja yang merupakan persatuan yang berdasarkan peristiwa wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Dari segi persamaan, Sakramen Tahbisan hanya diberikan satu kali seumur hidup karena termasuk materai yang tidak dapat terhapuskan dan akan terus berlangsung sampai akhir zaman (lih. Mat 28:20). Maka seorang Uskup, Imam, dan Diakon hanya mendapatkan satu tahbisan karena akan menjadikan seseorang menjadi pemimpin Gereja yang akan terus melekat sampai akhir zaman.



DAFTAR PUSTAKA

 

Beny Mite, Matheus. 2007. “Pemikiran dan Penghayatan Sakramen Dalam Agama Katolik”. Jakarta: Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi. FKIP Unika Atma Jaya.
Osborne, K. OFM. 2008. Komunitas, Ekaristi, dan Spiritualitas. Penerjemah: Hartono SJ dan Tim Seminar Teologi Modern. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta: Kanisius.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. “Tahbis”. http://kbbi.web.id/tahbis. diakses pada tanggal 24 April 2016









[1] Syarat demi sahnya sakramen atau syarat supaya sakramen yang diadakan valid/sah. Contohnya materia, forma, pelayan, dan penerima sakramen.
Lihat M. Beny Mite, ”Pemikiran dan Penghayatan Sakramen Dalam Agama Katolik”, Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi FKIP Unika Atma Jaya, Jakarta, 2007, hlm.14.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Tahbis”, http://kbbi.web.id/tahbis, diakses pada tanggal 24 April 2016.
[3] Matheus Beny Mite, ”Pemikiran dan Penghayatan Sakramen Dalam Agama Katolik”, Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi FKIP Unika Atma Jaya, Jakarta, 2007, hlm.97.

[4] Ibid., hlm.96.
[5] Kenan Osborne OFM, Komunitas, Ekaristi, dan Spiritualitas, Penerjemah: Hartono SJ dan Tim Seminar Teologi Modern. Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta: Kanisius, 2008, Hlm.92.

[6] M.Beny Mite, Loc.cit

Tidak ada komentar:

Posting Komentar