Senin, 27 Juni 2016

Pendidikan Iman Anak (Child Believe Edu)



Pendidikan Iman Anak
Novitauli Fransina Tambunan
2015 033 011
              Pada beberapa bulan lalu, saya menghadiri suatu pertemuan yang dihadiri para pendidik PERSINK (Persaudaraan Siswa-Siswi Negeri Katolik) di suatu paroki untuk membicarakan evaluasi kinerja yang diadakan pada bulan kedua setiap tahunnya. Pada suatu kesempatan, salah satu pendidik PERSINK tersebut mensharingkan pengalamannya saat mengajar. Dalam sharing itu dia melontarkan pertanyaan yang ditujukan kepada anak-anak murid PERSINK kelas lima sekolah dasar “Apa Tujuan utama anak-anak mengikuti pelajaran agama Gereja ini?” Tanpa menunggu yang waktu yang lama, terlontar jawaban yang terdengar dari kursi bagian belakang. “Aku belajar agama di sini ya tujuannya agar aku mendapatkan nilai agama dalam nilai raport. Karena didalam sekolah ku tidak ada pelajaran agama.” Jawab dari seorang anak laki-laki yang memiliki perawakan besar yang merupakan siswa dari sekolah negeri. Jawaban itu ditutup dengan sebuah pertanyaan yang dapat membuat saya secara pribadi miris “kalau bukan disini ya mau dimana lagi?”
              Memang jawaban tersebut tidak sepenuhnya salah. Namun, apakah jawaban itu yang mau dituju oleh pendidikan iman dan gereja Katolik? Bukankah PERSINK merupakan salah satu wadah bagi anak-anak Katolik yang bersekolah di sekolah non-Katolik yang menjadi tempat yang kondusif bagi anak-anak untuk mengenal dan mengasihi iman Katolik, serta bertumbuh di dalamnya[1], daripada hanya sekedar untuk mendapatkan nilai mata pelajaran agama. Jawaban ini sesungguhnya menandakan adanya masalah tentang pendidikan iman Katolik khususnya dalam pendidikan iman anak. Hal ini dapat disebabkan dari berbagai faktor antaralain yaitu terbatasnya sarana dan kurangnya pendidikan iman yang didapatkan anak tersebut yang diberikan keluarga, gereja, maupun pendidiknya. Jika keluarga yaitu orangtua yang kita percayai sebagai lembaga utama dalam pendidikan iman anak dapat menyimpang, maka tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan kekhawatiran dalam perkembangan iman anak yang selanjutnya. Padahal, pendidikan iman anak merupakan tahap awal untuk menumbuhkan iman Katolik. Bukan hanya bagi anak-anak Katolik melainkan juga bagi anak-anak yang bersekolah di sekolah non-Katolik. Lalu, bagaimana anak-anak dapat mengenal iman Katolik apabila kurangnya tanggung jawab dari peran orangtua dan gereja pada situasi konkret masyarakat khususnya pada kota megapolitan ini?
              Pada masa abad pertengahan, orangtua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang pendidikan kristiani[2]. Hal itu menjadi wajib karena pada masa tersebut merupakan syarat utama agar anak-anak mereka diperbolehkan mendapatkan sakramen permandian (mengimani Kristus). Pendidikan iman anak diberikan sepenuhnya kepada orangtua dengan cara pembinaan moral melalui teladan dan pengaruh baik dari keluarga maupun lingkungan Kristiani kepada anak-anaknya. Sedangkan pada zaman reformasi diberikan perhatian kepada pendidikan iman Katolik khususnya Pendidikan iman anak.
              Jika dibandingkan dengan perkembangan katakese di Indonesia, dalam PKKI I (Pertemuan Kateketik Keuskupan Indonesia) yang diselenggarakan KWI (Konferensi Wali Gereja) pada tahun 1977 yang menemukan arah katakese adalah katakese umat, yaitu komunikasi iman. Yang berarti dalam pendidikan iman anak harus adanya komunikasi iman yang terjalin dari anak, keluarga, maupun gereja. Jika dilihat dari sisi tokoh pendidikan, muncullah sosok misionaris Van Lith, yang memiliki pengajaran agama dan mengembangkan manusia pribumi. Van Lith memberikan pengajaran agama mulai kepada anak-anak agar dapat berkembang bukan hanya dalam kehidupan beriman juga kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan iman anak bertujuan untuk mengenalkan iman Katolik kepada anak dari usia dini. Tujuan tersebut harus didukung oleh keluarga khususnya orangtua. Karena anak akan menyerap pelajaran-pelajaran dari orang terdekatnya (orangtua) dan membuat pelajaran tersebut menjadi sebuah pengalaman sehingga membentuk suatu dasar pola-pola dan tingkah laku kehidupan iman anak yang selanjutkan akan terus berkembang sampai anak dapat “memasuki kepenuhan hidup Kristen.”[3] Dan dengan bantuan pembinaan kepada orangtua akan pentingnya pendidikan iman anak diharapkan orangtua dapat memenuhi kewajibannya untuk memberikan pendidikan Kristiani kepada anak-anaknya dengan melakukan hal-hal yang sederhana seperti memberikan teladan yang baik kepada anak, “meneruskan dan memberi kesaksian tentang nilai-nilai manusiawi dan religius.”[4] Dalam Catechesi Tradendae (art.37), pendidikan iman anak juga bertujuan untuk “memasukkan anak secara organis ke dalam kehidupan Gereja.”[5] Dengan otomatis tanggung jawab dari Gereja juga di perlukan dalam pendidikan iman anak. Gereja melalui katakese iman anak mempunyai tugas “menyiapkan bantuan untuk tahap awal dan perkembangan kehidupan iman.”[6] Perlu pula kita catat, para pendidik katekese (katekis) juga memiliki tanggung jawab dan peran dalam pengembangan iman anak untuk menjadi penggerak utama dan pembina rohani bagi anak-anak di sekolah maupun dalam BIA (Bina Iman Anak) tanpa membatasi kebebasan dan kreativitas dari anak.
Pendidikan iman anak di masa lampau, masa sekarang maupun di masa datang merupakan karya yang merupakan tanggungjawab orangtua dan gereja. Kerjasama antara orangtua, gereja maupun para katekis atau pendidik sangat diperlukan untuk membantu melaksanakan tugas-tugas mereka masing-masing demi pendidikan iman anak yang sesuai dengan tujuan iman Katolik. Sebagai refleksi saya sebagai salah satu mahasiswi yang baru mengenyam bangku kuliah khususnya jurusan yang saya pelajari yaitu Pendidikan Keagamaan Katolik. Tantangan ini merupakan tujuan saya dalam jangka panjang maupun jangka pendek untuk terus melaksanakan dan melestarikan pendidikan iman Katolik yang sesuai pada ajaran gereja Katolik dengan meneladani Yesus Kristus sendiri. Bukan hanya dalam lingkup keluarga saja melainkan lingkup wilayah, paroki, komunitas dan masyarakat.



[1] Katolitas Mengenal dan Mengasihi Iman Katolik, “Mungkinkah Menerapkan Prinsip Pendidikan Katolik?”, http://www.katolisitas.org/mungkinkah-menerapkan-prinsip-pendidikan-katolik/ , diakses pada tanggal 3 April 2016
[2]FX. Adisusanto SJ., Menyusuri Sejarah Pewartaan Gereja II:Seri Puskat 353, hlm.6
[3] Komisi Kateketik KWI, “Catechesi Tradendae: Katakese sebagai Suatu Tahap Evangelisasi” , Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI , Jakarta: 2011, hlm.25
[4] Komisi Kateketik KWI, “Petunjuk Umum Katakese: Orangtua, pendidik perdana anak-anak mereka”, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta, 2000, hlm.200
[5] Komisi Kateketik KWI, “Catechesi Tradendae: Anak-anak” , Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI , Jakarta: 2011, hlm.45
[6] Kongregasi Suci Untuk Para Klerus, “Direktorium Kateketik Umum”, Flores,1991, hlm.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar