Senin, 27 Juni 2016

Pendidikan Iman Anak (Child Believe Edu)



Pendidikan Iman Anak
Novitauli Fransina Tambunan
2015 033 011
              Pada beberapa bulan lalu, saya menghadiri suatu pertemuan yang dihadiri para pendidik PERSINK (Persaudaraan Siswa-Siswi Negeri Katolik) di suatu paroki untuk membicarakan evaluasi kinerja yang diadakan pada bulan kedua setiap tahunnya. Pada suatu kesempatan, salah satu pendidik PERSINK tersebut mensharingkan pengalamannya saat mengajar. Dalam sharing itu dia melontarkan pertanyaan yang ditujukan kepada anak-anak murid PERSINK kelas lima sekolah dasar “Apa Tujuan utama anak-anak mengikuti pelajaran agama Gereja ini?” Tanpa menunggu yang waktu yang lama, terlontar jawaban yang terdengar dari kursi bagian belakang. “Aku belajar agama di sini ya tujuannya agar aku mendapatkan nilai agama dalam nilai raport. Karena didalam sekolah ku tidak ada pelajaran agama.” Jawab dari seorang anak laki-laki yang memiliki perawakan besar yang merupakan siswa dari sekolah negeri. Jawaban itu ditutup dengan sebuah pertanyaan yang dapat membuat saya secara pribadi miris “kalau bukan disini ya mau dimana lagi?”
              Memang jawaban tersebut tidak sepenuhnya salah. Namun, apakah jawaban itu yang mau dituju oleh pendidikan iman dan gereja Katolik? Bukankah PERSINK merupakan salah satu wadah bagi anak-anak Katolik yang bersekolah di sekolah non-Katolik yang menjadi tempat yang kondusif bagi anak-anak untuk mengenal dan mengasihi iman Katolik, serta bertumbuh di dalamnya[1], daripada hanya sekedar untuk mendapatkan nilai mata pelajaran agama. Jawaban ini sesungguhnya menandakan adanya masalah tentang pendidikan iman Katolik khususnya dalam pendidikan iman anak. Hal ini dapat disebabkan dari berbagai faktor antaralain yaitu terbatasnya sarana dan kurangnya pendidikan iman yang didapatkan anak tersebut yang diberikan keluarga, gereja, maupun pendidiknya. Jika keluarga yaitu orangtua yang kita percayai sebagai lembaga utama dalam pendidikan iman anak dapat menyimpang, maka tidak menutup kemungkinan akan menimbulkan kekhawatiran dalam perkembangan iman anak yang selanjutnya. Padahal, pendidikan iman anak merupakan tahap awal untuk menumbuhkan iman Katolik. Bukan hanya bagi anak-anak Katolik melainkan juga bagi anak-anak yang bersekolah di sekolah non-Katolik. Lalu, bagaimana anak-anak dapat mengenal iman Katolik apabila kurangnya tanggung jawab dari peran orangtua dan gereja pada situasi konkret masyarakat khususnya pada kota megapolitan ini?
              Pada masa abad pertengahan, orangtua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang pendidikan kristiani[2]. Hal itu menjadi wajib karena pada masa tersebut merupakan syarat utama agar anak-anak mereka diperbolehkan mendapatkan sakramen permandian (mengimani Kristus). Pendidikan iman anak diberikan sepenuhnya kepada orangtua dengan cara pembinaan moral melalui teladan dan pengaruh baik dari keluarga maupun lingkungan Kristiani kepada anak-anaknya. Sedangkan pada zaman reformasi diberikan perhatian kepada pendidikan iman Katolik khususnya Pendidikan iman anak.
              Jika dibandingkan dengan perkembangan katakese di Indonesia, dalam PKKI I (Pertemuan Kateketik Keuskupan Indonesia) yang diselenggarakan KWI (Konferensi Wali Gereja) pada tahun 1977 yang menemukan arah katakese adalah katakese umat, yaitu komunikasi iman. Yang berarti dalam pendidikan iman anak harus adanya komunikasi iman yang terjalin dari anak, keluarga, maupun gereja. Jika dilihat dari sisi tokoh pendidikan, muncullah sosok misionaris Van Lith, yang memiliki pengajaran agama dan mengembangkan manusia pribumi. Van Lith memberikan pengajaran agama mulai kepada anak-anak agar dapat berkembang bukan hanya dalam kehidupan beriman juga kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan iman anak bertujuan untuk mengenalkan iman Katolik kepada anak dari usia dini. Tujuan tersebut harus didukung oleh keluarga khususnya orangtua. Karena anak akan menyerap pelajaran-pelajaran dari orang terdekatnya (orangtua) dan membuat pelajaran tersebut menjadi sebuah pengalaman sehingga membentuk suatu dasar pola-pola dan tingkah laku kehidupan iman anak yang selanjutkan akan terus berkembang sampai anak dapat “memasuki kepenuhan hidup Kristen.”[3] Dan dengan bantuan pembinaan kepada orangtua akan pentingnya pendidikan iman anak diharapkan orangtua dapat memenuhi kewajibannya untuk memberikan pendidikan Kristiani kepada anak-anaknya dengan melakukan hal-hal yang sederhana seperti memberikan teladan yang baik kepada anak, “meneruskan dan memberi kesaksian tentang nilai-nilai manusiawi dan religius.”[4] Dalam Catechesi Tradendae (art.37), pendidikan iman anak juga bertujuan untuk “memasukkan anak secara organis ke dalam kehidupan Gereja.”[5] Dengan otomatis tanggung jawab dari Gereja juga di perlukan dalam pendidikan iman anak. Gereja melalui katakese iman anak mempunyai tugas “menyiapkan bantuan untuk tahap awal dan perkembangan kehidupan iman.”[6] Perlu pula kita catat, para pendidik katekese (katekis) juga memiliki tanggung jawab dan peran dalam pengembangan iman anak untuk menjadi penggerak utama dan pembina rohani bagi anak-anak di sekolah maupun dalam BIA (Bina Iman Anak) tanpa membatasi kebebasan dan kreativitas dari anak.
Pendidikan iman anak di masa lampau, masa sekarang maupun di masa datang merupakan karya yang merupakan tanggungjawab orangtua dan gereja. Kerjasama antara orangtua, gereja maupun para katekis atau pendidik sangat diperlukan untuk membantu melaksanakan tugas-tugas mereka masing-masing demi pendidikan iman anak yang sesuai dengan tujuan iman Katolik. Sebagai refleksi saya sebagai salah satu mahasiswi yang baru mengenyam bangku kuliah khususnya jurusan yang saya pelajari yaitu Pendidikan Keagamaan Katolik. Tantangan ini merupakan tujuan saya dalam jangka panjang maupun jangka pendek untuk terus melaksanakan dan melestarikan pendidikan iman Katolik yang sesuai pada ajaran gereja Katolik dengan meneladani Yesus Kristus sendiri. Bukan hanya dalam lingkup keluarga saja melainkan lingkup wilayah, paroki, komunitas dan masyarakat.



[1] Katolitas Mengenal dan Mengasihi Iman Katolik, “Mungkinkah Menerapkan Prinsip Pendidikan Katolik?”, http://www.katolisitas.org/mungkinkah-menerapkan-prinsip-pendidikan-katolik/ , diakses pada tanggal 3 April 2016
[2]FX. Adisusanto SJ., Menyusuri Sejarah Pewartaan Gereja II:Seri Puskat 353, hlm.6
[3] Komisi Kateketik KWI, “Catechesi Tradendae: Katakese sebagai Suatu Tahap Evangelisasi” , Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI , Jakarta: 2011, hlm.25
[4] Komisi Kateketik KWI, “Petunjuk Umum Katakese: Orangtua, pendidik perdana anak-anak mereka”, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta, 2000, hlm.200
[5] Komisi Kateketik KWI, “Catechesi Tradendae: Anak-anak” , Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI , Jakarta: 2011, hlm.45
[6] Kongregasi Suci Untuk Para Klerus, “Direktorium Kateketik Umum”, Flores,1991, hlm.

Rabu, 11 Mei 2016

SAKRAMEN TAHBISAN (IMAMAT)


Hanya ada satu Tahbisan

NOVITAULI FRANSINA TAMBUNAN

Sakramen Ekaristi merupakan  pintu utama dalam upacara sakramen liturgis jika dibandingkan dengan sakramen lainnya. Namun, sakramen Ekaristi tidak dapat diadakan jika ada salah satu syarat ad validitatem[1] tidak terpenuhi yakni tidak ada yang memimpin sakramen tersebut (pelayan sakramen). Sama hal lainnya dengan enam sakramen yang kita akui dan kita imani dalam gereja Katolik di seluruh dunia yaitu sakramen baptis, sakramen krisma atau penguatan, sakramen tobat atau rekonsiliasi, sakramen pengurapan orang sakit dan sakramen perkawinan. Seluruh upacara sakramen itu dipimpin oleh seorang pelayan Gereja yang diangkat melalui sakramen tahbisan. Pada zaman sekarang umat banyak dibingungkan dengan arti Tahbisan dan Sakramen yang sesungguhnya. Dan untuk siapa gelar “Tahbisan” itu diberikan. Banyak orang awam, jika ditanyakan tentang kata “Tahbisan” atau “Imamat”, maka secara langsung berpikir tentang sosok seseorang Imam atau Pastor yang sering dijumpai di Gereja dan memimpin dalam perayaan Sakramen Ekaristi dan dalam Sakramen tobat atau rekonsiliasi. Sedangkan bagaimana dengan Uskup dan Diakon? Apakah Uskup dan Diakon memiliki tahbisan dan tugas yang sama dengan seorang Imam yang sering kita dijumpai di dalam Gereja maupun perayaan-perayaan Sakramen lainnya?
Kata Tahbisan sendiri diartikan sebagai upacara menahbiskan (menyucikan atau memberkati seseorang)[2]. Sedangkan sakramen diartikan sebagai lambang dan sarana keselamatan yang diberikan Allah kepada manusia. Sakramen sendiri diadakan, dikehendaki, dan direncanakan oleh Allah sebagai suatu bentuk perwujudan dan peralihan bagi orang belum percaya kepada Allah sehingga dapat percaya sekaligus mengimani Allah secara menyeluruh. Dengan kata lain, seseorang yang menerima sakramen tahbisan berarti orang tersebut telah memperoleh keselamatan dan diberkati secara menyeluruh baik dalam pikiran, batin, dan perilaku. Seseorang yang menerima sakramen tahbisan juga diberi kuasa dan wewenang mengubah roti dan anggur menjadi tubuh dan darah Kristus, mempersembahkan kurban Kristus kepada Allah, dan memberi absolusi dalam sakramen tobat atau rekonsiliasi.
Sedangkan Menurut Vatikan II, sakramen tahbisan dianggap sebagai “sakramen wisuda”. Artinya dengan diangkat seseorang sebagai seorang Imam atau pelayan Gereja, maka secara langsung menjadi pemimpin gereja, bukan hanya dalam upacara sakramen-sakramen, melainkan dalam seluruh kehidupan dan kegiatan Gereja. Dengan tahbisannya seseorang dapat bertindak dengan meneladani pribadi Kristus (bdk LG 10). Vatikan II mengajarkan bahwa dengan menerima sakramen Imamat orang beriman bersatu dengan Kristus untuk menjadi gembala khusus dengan melayani beriman dalam pewartaan kabar gembira, pengudusan, dan penggembalaan. Dengan makna tahbisan yaitu gembala demi pelayanan ada tiga nasehat Injili yang harus dihayati  yaitu ketaatan, kemiskinan, dan kemurnian[3]. Tahbisan diberikan kepada orang yang mau diangkat menjadi gembala Allah dengan melayani umat Allah dan mewartakan Injil Allah (bdk EN 68).
Jadi, dengan ditahbiskan melalui Sakramen Tahbisan maka orang tersebut telah memperoleh buah sakramen yaitu keselamatan dan menjadi pemimpin gereja yang “diangkat untuk menggembalakan Gereja dengan Sabda dan rahmat Allah” (Lumen Gentium 11).
Dalam Sakramen Tahbisan memiliki tiga jenjang kepemimpinan dalam Gereja. Namun hal itu bukan lah diartikan sebagai jenjang kekuasaan wilayah yang terluas ataupun kekuasaan harta yang dimiliki melainkan jenjang yang diterima menjadi anggota hierarki atau pemimpin Gereja dalam pelayanan suci. Menurut Vatikan II, dalam Gereja Katolik semua dianggap sebagai umat Allah.  Tahbisan tiga kepemimpinan tersebut yaitu diakon, imam, dan uskup. “Uskup sebagai pimpinan Gereja-gereja setempat, para imam dan para Diakon yang bersatu dengan Uskup mereka dan mereka merupakan pembantu-pembantu Uskup mereka” (EN 68). Dalam Konstitusi Dogmatis “Lumen Gentium” tentang Gereja, diberi pengertian tentang ketiga tahbisan tersebut.
Pertama, tahbisan uskup. “Dengan tahbisan uskup diterimakan kepenuhan sakramen imamat, yang biasanya disebut imamat tertinggi atau keseluruhan pelayanan suci” (LG 21). Uskup melalui penetapan Ilahi menggantikan para Rasul  sebagai gembala Gereja (LG 20) dan bertindak dalam pribadi Kristus (EN 68). Tugas uskup melayani para jemaat dan memimpin yang mereka gembalakan sebagai pendidik dalam iman (pemersatu), imam dalam ibadat suci, dan pelayanan dalam bimbingan (komunikasi iman).
Kedua, tahbisan imam. “Kendatipun tidak menerima puncak imamat, dan dalam melaksanakan kuasa mereka tergantung dari para uskup, namun mereka sama-sama imam seperti para uskup; dan berdasarkan sakramen tahbisan mereka pun dikhususkan untuk mewartakan Injil serta menggembalakan umat beriman, dan untuk merayakan ibadat ilahi, sebagai imam sejati Perjanjian Baru” (LG 28).
Ketiga, tahbisan diakon. Mereka juga “ditumpangi tangan, tetapi bukan untuk imamat, melainkan untuk pelayanan” (LG 29). Tugas diakon antaralain membaca Injil dan membagikan komuni suci.
Dalam pandangan Kitab Suci Perjanjian Lama, tiga jenjang kepemimpinan tersebut dikenal sebagai pembagian pelayanan umat, yaitu: Raja yang dipahami sebagai gembala umat dalam 2 Samuel 5:2 menuliskan “Telah lama, ketika Saul memerintah atas kami, engkaulah yang memimpin segala gerakan orang Israel. Dan Tuhan telah berfirman kepadamu : Engkaulah yang harus menggembalakan umat-Ku Israel, dan engkaulah yang menjadi raja atas Israel.” Imam dalam Bilangan 6:22-27. Dalam ayat ini Tuhan berfirman kepada Musa untuk memberkati orang Israel. Nabi dalam Amsal 7:14-15. Dalam ayat ini Tuhan berfirman kepada Amos untuk bernubuat terhadap umat Israel.[4]
Sedangkan dalam Kitab Suci Perjanjian Baru Dalam Injil Markus 3:14-15 dan Lukas 10:1. Yesus sendirilah yang bertindak sebagai pelayan umat dalam memanggil ke-12 Rasul dan para murid-Nya untuk turut serta dalam perutusannya.
Menurut pandangan umum dan dominan ini, Yesus memanggil para rasul dan menjadikan mereka uskup-uskup yang pertama. Kemudian para rasul juga memilih pengganti mereka dan menjadikan mereka uskup juga. Para pengganti uskup ini selanjutnya menunjuk orang-orang tertentu untuk ikut memikul tugas mereka, dan merekalah yang disebut sebagai para imam.[5]
Namun pada Hakikatnya, Dasar Gereja dan segala bentuk kepemimpinannya terpusat pada peristiwa wafat dan Kebangkitan Tuhan Yesus Kristus[6].
Sakramen adalah sarana untuk memperoleh keselamatan Allah kepada manusia. Termasuk Sakramen Tahbisan, dengan menerima sakramen ini seseorang telah disucikan. Gelar “Tahbisan” ini akan diberikan kepada seseorang yang disebut Frater dan telah diberikan kepada seseorang yaitu Uskup, Imam dan Diakon yang melalui kuasa tahbisan mereka bertanggung jawab menjadi pelayan dan pengajar umat Allah dalam iman. Dari segi perbedaan, maka ada tiga pembagian tugas pemimpin, yakni  Pemimpin (Uskup) yang memiliki tugas pewartaan, perayaan dan pelayanan; Pembantu umum (Imam) yang memiliki tugas konkret sama seperti uskup yakni mewartakan  Injil; dan Pembantu khusus (Diakon) yang memiliki tugas untuk membantu Uskup dan Imam namun terbatas. Tiga tahbisan tersebut adalah tahbisan sebagai anggota hierarki atau pemimpin Gereja yang merupakan persatuan yang berdasarkan peristiwa wafat dan kebangkitan Yesus Kristus. Dari segi persamaan, Sakramen Tahbisan hanya diberikan satu kali seumur hidup karena termasuk materai yang tidak dapat terhapuskan dan akan terus berlangsung sampai akhir zaman (lih. Mat 28:20). Maka seorang Uskup, Imam, dan Diakon hanya mendapatkan satu tahbisan karena akan menjadikan seseorang menjadi pemimpin Gereja yang akan terus melekat sampai akhir zaman.



DAFTAR PUSTAKA

 

Beny Mite, Matheus. 2007. “Pemikiran dan Penghayatan Sakramen Dalam Agama Katolik”. Jakarta: Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi. FKIP Unika Atma Jaya.
Osborne, K. OFM. 2008. Komunitas, Ekaristi, dan Spiritualitas. Penerjemah: Hartono SJ dan Tim Seminar Teologi Modern. Universitas Sanata Dharma. Yogyakarta: Kanisius.
Kamus Besar Bahasa Indonesia. “Tahbis”. http://kbbi.web.id/tahbis. diakses pada tanggal 24 April 2016









[1] Syarat demi sahnya sakramen atau syarat supaya sakramen yang diadakan valid/sah. Contohnya materia, forma, pelayan, dan penerima sakramen.
Lihat M. Beny Mite, ”Pemikiran dan Penghayatan Sakramen Dalam Agama Katolik”, Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi FKIP Unika Atma Jaya, Jakarta, 2007, hlm.14.
[2] Kamus Besar Bahasa Indonesia, “Tahbis”, http://kbbi.web.id/tahbis, diakses pada tanggal 24 April 2016.
[3] Matheus Beny Mite, ”Pemikiran dan Penghayatan Sakramen Dalam Agama Katolik”, Program Studi Ilmu Pendidikan Teologi FKIP Unika Atma Jaya, Jakarta, 2007, hlm.97.

[4] Ibid., hlm.96.
[5] Kenan Osborne OFM, Komunitas, Ekaristi, dan Spiritualitas, Penerjemah: Hartono SJ dan Tim Seminar Teologi Modern. Universitas Sanata Dharma, Yogyakarta: Kanisius, 2008, Hlm.92.

[6] M.Beny Mite, Loc.cit

Minggu, 01 Mei 2016

Fact About Chatolic (Salib)

Do u Know?

Fact About Chatolic

“Various Cross”


Hai Blessed people, edisi kali ini kita akan membahas tentang macam-macam Salib.

1. Salib Latin (Crux Immissa)
Salib ini merupakan salib yang paling sering kita lihat dan ketahui .Salib ini dipercaya sebagai bentuk salib yang sesungguhnya sebagai salib tempat Yesus wafat.
 
2. Salib “TAU” (Crux Commissa)
Salib ini berbentuk T. Bentuk ini di ambil sebagaimana dalam Perjanjian Lama Yehemia 9:4 “Berjalanlah dari tengah-tengah kota, yaitu Yerusalem dan tulislah huruf T (Tau) pada dahi orang-orang yang berkeluh kesah karena segala perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan karena segala perbuatan-perbuatan keji yang dilakukan di sana.” Dari Firman Allah tersebut diyakini sebagai gambaran awal dari Salib Kristus. Bentuk Salib ini juga dipakai Kaum Fransiskan sebagai simbol dari Perkumpulan tersebut.
 

3.    Salib “San Damiano”
Selain Salib “TAU”, Salib San Damiano juga diidentikkan dengan simbol kaum Fransiskan. Salib ini dibuat oleh seorang seniman yang berasal dari Umbrian. Santo Fransiskus Asisi bertobat dan dipanggil oleh Tuhan Yesus untuk memperbaiku Gereja-Nya di hadapan Salib San Damiano ini.
 

4.    Salib Yunani (Greek Cross)
Salib ini digunakan pada era Gereja Perdana yang teraniaya untuk menyamarkan identitasnya sebagai orang Kristiani.
Hasil gambar untuk salib yunani
5.    Salib Yerusalem (Crusaders Cross)
Salib ini tersusun dari satu salib besar yang menyimbolkan Yesus Kristus dan empat buah salib kecil yang menyimbolkan empat Kitab Injil yang terdapat dalam Perjanjian Baru yaitu Markus, Matius, Lukas, dan Yohanes.
 

6.    Salib Byzantium
Salib ini digunakan oleh Gereja Katolik Timur (Ortodoks Timur). Salib ini memiliki satu palang di atas sebagai tulisan INRI, sedangkan palang bawah digambarkan sebagai tempat pijakan Yesus.
 

7.    Salib Slavonik
Salib bentuk ini digunakan terutama oleh Gereja Katolik Timur dengan tradisi Slav dan Ortodoks Rusia. Salib ini hampir sama dengan Salib Byzantium namun dengan garis bawah berada dalam posisi diagonal.
 

8.    Salib Santo Petrus
Salib ini dipakai oleh Santo Petrus saat disalibkan. Namun, sayangnya salib berbentuk terbalik ini dipakai oleh para penganut Anti Kristus dengan tujuan untuk menjelaskan perbedaan posisi (keyakinan) dengan orang Kristen.
 

9.    Salib Santo Andreas
Salib  berbentuk X ini dipakai oleh Santo Andreas saat disalibkan.
 Hasil gambar untuk saint andrew's cross

10. Salib Santo Benediktus
Salib ini terdapat huruf-huruf C.S.S.M.L (Crux Sacra Sit Mihi Lux) dan N.D.S.M.D (Non Draco Sit Mihi Dux)  yang berarti : “Semoga Salib Suci menjadi Terangku, Jangan pernah biarkan si naga menjadi pembimbingku.” Dan pada lingkaran huruf V.R.S (Vade Retro Satana), N.S.M.V (Nunquam Suade Mihi Vana), S.M.Q.L (Sunt Mala Quae Libas), I.V.B (Ipse Venena Bibas) yang berarti : ”Enyahlah, Setan! Jangan Nasehatkan Pemikiran Sia-sia kepadaku. Engkau tawarkan adalah kejahatan. Minumlah sendiri racunmu!”
 Hasil gambar untuk saint benedict's cross


Love God with repentance (Pertobatan)

Allah penuh Kasih
Novitauli Fransina Tambunan

        Pada umumnya iman manusia dikaitkan dengan perbuatan keseharian yang mereka lakukan. Kepercayaan manusia akan Tuhan terkadang hanya dilihat dari sudut pandang perbuatan mereka yang kelihatan. Jika perbuatan manusia tidak sesuai dengan perbuatan manusia pada umumnya, maka manusia cenderung menjauh. Oleh karena itu, manusia yang dengan gampang nya menilai seseorang dari perbuatan yang tampak dan timbulah sifat manusia yang mengelompokan sesuai dengan kehendak mereka sendiri. Misalnya pola pikir manusia yang memandang hanya orang yang aktif di Gereja yang hanya diselamatkan oleh Tuhan dan semacamnya. Hal lainnya manusia juga sering kali menganggap bertobat hanya dengan cara datang ke Gereja dan mengaku dosa saat sakramen tobat. Dengan melakukan itu maka dosa yang mereka perbuat sudah dihapuskan, tanpa melakukan introspeksi diri dengan menyesali dengan bersungguh-sungguh dosa yang ia perbuat dan berubah untuk menjadi yang lebih baik.
        Penginjil Matius (9:9-13) menceritakan tentang Matius pemungut cukai yang mengikuti Yesus. Kisah ini menggambarkan kemurahan hati Tuhan yang tidak membeda-bedakan manusia, yang diceritakan Yesus mau berkumpul dan makan bersama dengan para pemungut cukai. Di satu sisi, orang Farisi dan ahli-ahli Taurat pada zaman itu menganggap salah satu dosa terberat yang dilakukan manusia antara lain adalah memungut cukai. Dan menganggap Yesus ‘aneh’ karena Ia mau berkumpul bahkan makan bersama-sama dengan para pemungut cukai yang berdosa. Disisi lain, timbulah keraguan dari murid-murid Yesus melalui pertanyaan yang dilontarkan orang Farisi kepada murid-murid Yesus. Dengan kemurahan hati Yesus menjawab “Bukan orang sehat yang memerlukan tabib, tetapi orang sakit” (ay.12) Jawaban Yesus memiliki arti bahwa Tuhan memaafkan manusia sekalipun manusia masuk ke dalam dosa yang berat. “Yang kuhendaki ialah belas kasihan dan bukan persembahan, karena Aku datang bukan untuk memanggil orang benar, melainkan orang berdosa” (ay.13) Tuhan mengutamakan sikap hati yang jujur dan berbelas kasih daripada perbuatan yang hanya dilihat semata. Tuhan datang ke dunia bukan hanya menyelamatkan orang yang pergi Gereja setiap minggunya, tetapi untuk menyelamatkan semua manusia yang Tuhan ciptakan. Yesus memperhatikan setiap pribadi yang menjadi anggota tubuhnya untuk selalu bersama-sama dengan Dia.
        Dengan mendalami kisah ini, para katakumen diajak untuk menghindarkan penilaian yang instan dan anggapan tahu akan segalanya tentang dunia. Para katekumen juga diajak untuk mengubah pola pikir dan kebiasaan yang membeda-bedakan. Pertobatan yang sesungguhnya dengan cara memaafkan diri sendiri dan orang lain. Tiada persembahan yang layak dihadapan Tuhan jika tanpa disertai perbuatan yang dikehendaki oleh Tuhan. Para katakumen hendaklah juga siap sedia untuk mengulurkan tangan kepada orang lain yang membutuhkan bantuan sehingga mampu menjadi alat Tuhan untuk mewartakan Injil dan mewujudkan kemurahan hati Tuhan.