Pendidikan Iman Anak
Novitauli
Fransina Tambunan
2015
033 011
Pada beberapa bulan lalu, saya
menghadiri suatu pertemuan yang dihadiri para pendidik PERSINK (Persaudaraan
Siswa-Siswi Negeri Katolik) di suatu paroki untuk membicarakan evaluasi kinerja
yang diadakan pada bulan kedua setiap tahunnya. Pada suatu kesempatan, salah
satu pendidik PERSINK tersebut mensharingkan pengalamannya saat mengajar. Dalam
sharing itu dia melontarkan pertanyaan yang ditujukan kepada anak-anak murid PERSINK
kelas lima sekolah dasar “Apa Tujuan utama anak-anak mengikuti pelajaran agama
Gereja ini?” Tanpa menunggu yang waktu yang lama, terlontar jawaban yang
terdengar dari kursi bagian belakang. “Aku belajar agama di sini ya tujuannya
agar aku mendapatkan nilai agama dalam nilai raport. Karena didalam sekolah ku
tidak ada pelajaran agama.” Jawab dari seorang anak laki-laki yang memiliki
perawakan besar yang merupakan siswa dari sekolah negeri. Jawaban itu ditutup
dengan sebuah pertanyaan yang dapat membuat saya secara pribadi miris “kalau bukan
disini ya mau dimana lagi?”
Memang jawaban tersebut tidak
sepenuhnya salah. Namun, apakah jawaban itu yang mau dituju oleh pendidikan
iman dan gereja Katolik? Bukankah PERSINK merupakan salah satu wadah bagi
anak-anak Katolik yang bersekolah di sekolah non-Katolik yang menjadi tempat
yang kondusif bagi anak-anak untuk mengenal dan mengasihi iman Katolik, serta
bertumbuh di dalamnya[1],
daripada hanya sekedar untuk mendapatkan nilai mata pelajaran agama.
Jawaban ini sesungguhnya menandakan adanya masalah tentang pendidikan iman
Katolik khususnya dalam pendidikan iman anak. Hal ini dapat disebabkan dari
berbagai faktor antaralain yaitu terbatasnya sarana dan kurangnya pendidikan
iman yang didapatkan anak tersebut yang diberikan keluarga, gereja, maupun
pendidiknya. Jika keluarga yaitu orangtua yang kita percayai sebagai lembaga
utama dalam pendidikan iman anak dapat menyimpang, maka tidak menutup
kemungkinan akan menimbulkan kekhawatiran dalam perkembangan iman anak yang
selanjutnya. Padahal, pendidikan iman anak merupakan tahap awal untuk
menumbuhkan iman Katolik. Bukan hanya bagi anak-anak Katolik melainkan juga
bagi anak-anak yang bersekolah di sekolah non-Katolik. Lalu, bagaimana anak-anak
dapat mengenal iman Katolik apabila kurangnya tanggung jawab dari peran
orangtua dan gereja pada situasi konkret masyarakat khususnya pada kota
megapolitan ini?
Pada masa abad pertengahan,
orangtua mempunyai kewajiban untuk mengajarkan anak-anak mereka tentang
pendidikan kristiani[2].
Hal itu menjadi wajib karena pada masa tersebut merupakan syarat utama agar
anak-anak mereka diperbolehkan mendapatkan sakramen permandian (mengimani
Kristus). Pendidikan iman anak diberikan sepenuhnya kepada orangtua dengan cara
pembinaan moral melalui teladan dan pengaruh baik dari keluarga maupun
lingkungan Kristiani kepada anak-anaknya. Sedangkan pada zaman reformasi
diberikan perhatian kepada pendidikan iman Katolik khususnya Pendidikan iman
anak.
Jika dibandingkan dengan
perkembangan katakese di Indonesia, dalam PKKI I (Pertemuan Kateketik Keuskupan
Indonesia) yang diselenggarakan KWI (Konferensi Wali Gereja) pada tahun 1977
yang menemukan arah katakese adalah katakese umat, yaitu komunikasi iman. Yang
berarti dalam pendidikan iman anak harus adanya komunikasi iman yang terjalin
dari anak, keluarga, maupun gereja. Jika dilihat dari sisi tokoh pendidikan,
muncullah sosok misionaris Van Lith, yang memiliki pengajaran agama dan
mengembangkan manusia pribumi. Van Lith memberikan pengajaran agama mulai
kepada anak-anak agar dapat berkembang bukan hanya dalam kehidupan beriman juga
kehidupan bermasyarakat.
Pendidikan
iman anak bertujuan untuk mengenalkan iman Katolik kepada anak dari usia dini.
Tujuan tersebut harus didukung oleh keluarga khususnya orangtua. Karena anak
akan menyerap pelajaran-pelajaran dari orang terdekatnya (orangtua) dan membuat
pelajaran tersebut menjadi sebuah pengalaman sehingga membentuk suatu dasar
pola-pola dan tingkah laku kehidupan iman anak yang selanjutkan akan terus
berkembang sampai anak dapat “memasuki kepenuhan hidup Kristen.”[3] Dan
dengan bantuan pembinaan kepada orangtua akan pentingnya pendidikan iman anak
diharapkan orangtua dapat memenuhi kewajibannya untuk memberikan pendidikan
Kristiani kepada anak-anaknya dengan melakukan hal-hal yang sederhana seperti
memberikan teladan yang baik kepada anak, “meneruskan dan memberi kesaksian
tentang nilai-nilai manusiawi dan religius.”[4] Dalam
Catechesi Tradendae (art.37), pendidikan
iman anak juga bertujuan untuk “memasukkan anak secara organis ke dalam
kehidupan Gereja.”[5] Dengan otomatis tanggung
jawab dari Gereja juga di perlukan dalam pendidikan iman anak. Gereja melalui
katakese iman anak mempunyai tugas “menyiapkan bantuan untuk tahap awal dan
perkembangan kehidupan iman.”[6] Perlu
pula kita catat, para pendidik katekese (katekis) juga memiliki tanggung jawab
dan peran dalam pengembangan iman anak untuk menjadi penggerak utama dan pembina
rohani bagi anak-anak di sekolah maupun dalam BIA (Bina Iman Anak) tanpa
membatasi kebebasan dan kreativitas dari anak.
Pendidikan
iman anak di masa lampau, masa sekarang maupun di masa datang merupakan karya
yang merupakan tanggungjawab orangtua dan gereja. Kerjasama antara orangtua,
gereja maupun para katekis atau pendidik sangat diperlukan untuk membantu
melaksanakan tugas-tugas mereka masing-masing demi pendidikan iman anak yang
sesuai dengan tujuan iman Katolik. Sebagai refleksi saya sebagai salah satu
mahasiswi yang baru mengenyam bangku kuliah khususnya jurusan yang saya
pelajari yaitu Pendidikan Keagamaan Katolik. Tantangan ini merupakan tujuan
saya dalam jangka panjang maupun jangka pendek untuk terus melaksanakan dan
melestarikan pendidikan iman Katolik yang sesuai pada ajaran gereja Katolik
dengan meneladani Yesus Kristus sendiri. Bukan hanya dalam lingkup keluarga saja
melainkan lingkup wilayah, paroki, komunitas dan masyarakat.
[1] Katolitas
Mengenal dan Mengasihi Iman Katolik, “Mungkinkah Menerapkan Prinsip Pendidikan
Katolik?”, http://www.katolisitas.org/mungkinkah-menerapkan-prinsip-pendidikan-katolik/
, diakses pada tanggal 3 April 2016
[2]FX.
Adisusanto SJ., Menyusuri Sejarah
Pewartaan Gereja II:Seri Puskat 353, hlm.6
[3] Komisi
Kateketik KWI, “Catechesi Tradendae:
Katakese sebagai Suatu Tahap Evangelisasi” , Departemen Dokumentasi dan
Penerangan KWI , Jakarta: 2011, hlm.25
[4] Komisi
Kateketik KWI, “Petunjuk Umum Katakese: Orangtua, pendidik perdana anak-anak
mereka”, Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI, Jakarta, 2000, hlm.200
[5] Komisi
Kateketik KWI, “Catechesi Tradendae:
Anak-anak” , Departemen Dokumentasi dan Penerangan KWI , Jakarta: 2011, hlm.45
[6] Kongregasi
Suci Untuk Para Klerus, “Direktorium Kateketik Umum”, Flores,1991, hlm.






